BANDUNG JAWA BARAT - Karena seringnya menerima penawaran pinjaman online melalui SMS atau Whatsapp, masyarakat yang tengah kesulitan mencari nafkah dan kebutuhan hidup sehari-hari, terlebih pada saat pandemi covid-19 ini akan terpaksa melakukan pinjaman online. Sebenarnya angka pengaduan konsumen pinjaman online sejak sebelum pandemi covid-19 pun sudah cukup tinggi.
Hal ini bisa dilihat dengan masuknya pengaduan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Saat ini pemerintah tengah memberikan perhatian atas maraknya penagihan utang yang membuat resah masyarakat dari pinjaman online (pinjol) ilegal.
Adalah Menko Polhukam Mahfud MD saat memberikan keterangan pers di kanal YouTube Kemenko Polhukam RI, Selasa (19/10/2021) menegaskan, masyarakat korban pinjaman online (pinjol) ilegal untuk tidak lagi membayar tagihan dari Pinjol Ilegal. Bagi para korban untuk melapor polisi apabila pinjol ilegal masih meminta untuk membayar disertai dengan peneroran.
Mahfud menegaskan pihaknya hanya akan melakukan tindakan tegas terhadap pinjaman online ilegal. Oleh sebabnya, pinjaman online yang sudah ada izin dan sah diberikan kesempatan untuk berkembang, karena justru itu yang diharapkan tapi yang ilegal ini akan kita tindak dengan ancaman hukum pidana. Banyak pasal yang dilanggar oleh Pinjol Ilegal ini mulai dari pasal tentang tindak kekerasan dan juga pasal tentang perbuatan tidak menyenangkan yang ada di KUHP.
Persoalannya apa beda pinjol legal dengan pinjol ilegal, apakah hanya persoalan ada ijin atau tidak ? Bagaimana apabila dalam praktek penagikan kepada konsumen pinjol legal pun melakukan cara teror, kekerasan, intimidasi dll seperti yang dilakukan/dituduhkan kepada pinjol ilegal ? Dengan kata lain, apakah pinjol legal tidak ada yang melakukan praktek penagihan kepada konsumen seperti pinjol-pinjol ilegal ?
Pada dasarnya bagi pelaku usaha, termasuk perusahaan pinjol legal yang melanggar hak-hak konsumen, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah mengatur sanksi yang cukup berat, khususnya pelanggaran terhadap Pasal 8 dan Pasal 18. UUPK juga dapat mengenakan tiga sanksi sekaligus kepada perusahaan pinjol legal, yakni sanksi perdata (gantirugi/kompensasi) dan sanksi pidana (maksimal 5 thn penjara atau denda 2 milyar vide Pasal 19 jo Pasal 62), serta sanksi administrasi/pencabutan ijin (Pasal 63).
Selain itu, baik pinjol ilegal mapun pinjol legal bisa dijerat dengan undang-undang ITE, UUPK dan peraturan yang dikeluarkan oleh OJK, diantaranya seperti POJK No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SE OJK No 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.
Langkah tegas OJK melalui Satgas Waspada Investasi bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, tidak cukup hanya menindak pinjaman online (pinjol) ilegal, tapi juga terhadap pinjol legal yang melanggar hukum maupun melakukan tindak kejahatan. Karena tidak sedikit pengaduan konsumen atas tindakan pinjol legal yang melakukan teror, tindak kekerasan, perbuatan tidak menyenangkan, atau pencemaran nama baik terhadap konsumen.
Kepedulian pemerintah atas maraknya penagihan utang dari pinjaman online (pinjol) ilegal lewat pernyataan Mahfud MD ini, agaknya tidak sebatas pernyataan semata, atau belum sempurna, tapi perlu diwujudkan dalam bentuk regulasi tentang tidak perlunya lagi membayar pinjol, sehingga mempunyai kekuatan hukum dan mengikat.
Hal ini perlu dilakukan agar mempunyai kepastian hukum yang jelas dan yang terpenting kebijakan pemerintah ini perlu dikawal/dipantau sampai tingkat implementasinya di lapangan, supaya tidak seperti nasib kebijakan tentang relaksasi yang tertuang dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020, yang telah diubah dengan POJK Nomor 48 /POJK.03/2020, yang belum begitu optimal dirasakan manfaatnya terutama oleh masyarakat yang terdampak langsung covid-19. (***)
*) Wakil Ketua Komisi 2 Bidang Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI/Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Fakultas Hukum Univ. Pasundan.
By DR Firman T Edipraja